Friday, March 04, 2011

Day 359: See You Later, Metropolis! #365shots

March 4, 2011

About to board QF42 to SYD. Let the #escapade begins!

Posted via email from Popsicle Toes


Wednesday, March 02, 2011

Karena Memutuskan Menjadi Orang Tua Adalah Pilihan, BUKAN Kewajiban.

Saya sering terganggu dengan kebiasaan basa-basi kebanyakan orang Indonesia yang selalu bertanya, "Kapan....?"

Waktu masih single, pertanyaannya: "Kapan menikah?"

Setelah menikah, pertanyaannya berganti: "Kapan punya anak?"

Setelah punya anak pertama, rangkaian pertanyaan masih berlanjut, "Kapan anak kedua?"

Anak sudah besar, masih ada pertanyaan, "Kapan mantu?"

Dan seterusnya dan seterusnya..

Sejak menikah hampir tiga tahun yang lalu, pertanyaan yang selalu saya dengar adalah: "Kapan punya anak?" Kebetulan memang awal-awal saya dan suami memutuskan untuk menunda dulu, karena masa pacaran yang cukup singkat (hanya 1 tahun lho dari kenal sampai menikah!), jadi kami berpikir untuk menghabiskan cukup waktu berdua dulu sebelum menambah anggota keluarga baru.

Semua pertanyaan tentang kapan punya anak pun saya jawab dengan senyum saja, daripada menambah perdebatan yang tidak perlu. Tidak ada beban, karena memang kami belum berencana.

Kemudian setelah anniversary pernikahan kami yang kedua, mulailah kami berpikir untuk serius program punya anak. Mulailah kunjungan ke ob/gyn, menjalani serangkaian tes untuk memastikan semua baik-baik saja, dan dokter pun mulai menerapkan programnya. Sengaja memang rencana program ini kami simpan sendiri, tidak memberitahu orang-orang karena tidak ingin merasa terbebani dengan harapan orang-orang.

Saat-saat kami sedang berusaha inilah dimana pertanyaan dan komentar orang-orang mulai membuat gerah dan terasa tidak pada tempatnya. Karena entah kenapa, sepertinya mereka merasa saya memang sengaja tidak ingin punya anak dan selalu mengeluarkan komentar yang bersifat menghakimi.

"Jangan kerja terus makanya, kapan mau punya anak?"

"Kenapa sih ditunda-tunda terus punya anaknya? Awas lho kalau nunda-nunda ntar malah nda punya-punya"

"Udah berapa sekarang anaknya? Gue dong udah dua!"

Itu adalah beberapa dari sekian banyak pertanyaan/komentar yang sering membuat saya geram, karena dilontarkan oleh orang-orang yang jarang bertemu saya. Tau apa ya mereka tentang apa yang sedang saya jalani? Apa yang sedang saya usahakan? Kenapa langsung berasumsi kalau saya tidak mau punya anak dan jadi malah seperti mendoakan saya lama punya anak? Dan sejak kapan anak jadi seperti piala, jumlahnya dipamer-pamerkan? Padahal itu saja saya baru yang usaha beberapa bulan, dengan upaya yang mungkin minimal dibandingkan dengan apa yang dilalui orang lain. Kebayang nda sih, kalau komentar itu dikeluarkan ke pasangan yang sudah lama berusaha dengan segala daya dan upaya, apa nda sedih dengernya?

Lagipula, kenapa memangnya kalau pasangan yang sudah menikah tidak/belum mau punya anak? Apakah salah? Apakah berarti semua yang punya anak lebih baik? Semakin banyak jumlah anak menandakan pencapaian di dunia? Kayaknya kok picik sekali ya?

Menurut saya, memutuskan menjadi orang tua adalah pilihan; BUKAN kewajiban. Bertanggung jawab atas hidup manusia lain bukanlah hal yang mudah, dan itu harus dilakukan dengan sepenuh hati, karena KITA yang menginginkannya; bukan karena dorongan orang lain.

Sekarang saya dan suami sedang menantikan anak pertama kami, alhamdulillah sudah masuk ke minggu ke-21. Kehamilan saya sejauh ini cukup lancar, tidak ada morning sickness dan masih bisa beraktivitas normal. Hanya saja selama 3 bulan pertama saya tersiksa karena pilek-batuk yang tidak kunjung reda, yang ternyata karena hormon yang berubah. Tidak bisa minum obat, pusing tak tertahankan, dan sebagainya. Riwayat sakit punggung yang pernah ada pun muncul kembali, dan karena belum boleh pijat, jadi ya saya hanya maksimal bisa mengusap-usap dengan minyak angin. Tapi semua saya jalani dengan ikhlas dan senang, karena ini memang sesuatu yang saya inginkan untuk diri saya sendiri. Kalau saya melakukan ini hanya karena desakan orang lain, sepertinya bisa marah deh mengalami segala "penderitaan" yang terjadi :)

Makanya, tiap ada yang bertanya sama saya mengenai program kehamilan saya, bagaimana bisa berhasil, dsb - dan kemudian menyebutkan alasannya, "Iya nih, gue udah ngga tahan ditanya2in terus kapan punya anak sama orang tua/mertua/saudara/dsb", saya selalu bilang: "Hamil itu nda selalu all that glorious lho, make sure emang loe yang pengen, bukan karena tekanan orang lain - jadi semua konsekuensinya juga dijalani dengan senang."

Itu baru hamilnya, belum nanti pada saat anaknya sudah lahir. Sudah pasti hidup orang tuanya berubah total. Banyak yang harus dipikirkan kalau sudah bertanggung jawab terhadap hidup orang lain. Yang menjalani dan bertanggung jawab terhadap sang anak kan kita, bukan orang tua/mertua/saudara yang ribut mencereweti kita kalau belum punya anak tadi kan?

Memutuskan menjadi orang tua adalah pilihan, bukan kewajiban. Dan buat saya sekarang, menjalani pilihan ini terasa sangat menyenangkan. Mendengar detak jantungnya pada saat USG, melihat gerak-geriknya di monitor, mengetahui pertambahan berat badan/panjangnya, dan yang terakhir ini, merasakan pergerakannya di rahim saya, semua terasa begitu menakjubkan, dan membuat semua pilek/batuk/pusing/sakit punggung jadi tidak terasa lagi.

Tapi lagi-lagi, ini adalah pilihan saya. Tidak semua orang memilih demikian. Jadi, buat yang pertanyaan basa-basinya adalah soal anak, atau yang hobinya "menghakimi" pasangan yang belum memiliki anak, tolonglah, cari pertanyaan lain untuk basa basi. Ini pilihan, bukan kewajiban. Dan yang lebih mendasar lagi, ini bukan urusan anda. MYOB, please!

Posted via email from Popsicle Toes


Karena Memutuskan Menjadi Orang Tua Adalah Pilihan, BUKAN Kewajiban.

Saya sering terganggu dengan kebiasaan basa-basi kebanyakan orang Indonesia yang selalu bertanya, "Kapan....?"

Waktu masih single, pertanyaannya: "Kapan menikah?"

Setelah menikah, pertanyaannya berganti: "Kapan punya anak?"

Setelah punya anak pertama, rangkaian pertanyaan masih berlanjut, "Kapan anak kedua?"

Anak sudah besar, masih ada pertanyaan, "Kapan mantu?"

Dan seterusnya dan seterusnya..

Sejak menikah hampir tiga tahun yang lalu, pertanyaan yang selalu saya dengar adalah: "Kapan punya anak?" Kebetulan memang awal-awal saya dan suami memutuskan untuk menunda dulu, karena masa pacaran yang cukup singkat (hanya 1 tahun lho dari kenal sampai menikah!), jadi kami berpikir untuk menghabiskan cukup waktu berdua dulu sebelum menambah anggota keluarga baru.

Semua pertanyaan tentang kapan punya anak pun saya jawab dengan senyum saja, daripada menambah perdebatan yang tidak perlu. Tidak ada beban, karena memang kami belum berencana.

Kemudian setelah anniversary pernikahan kami yang kedua, mulailah kami berpikir untuk serius program punya anak. Mulailah kunjungan ke ob/gyn, menjalani serangkaian tes untuk memastikan semua baik-baik saja, dan dokter pun mulai menerapkan programnya. Sengaja memang rencana program ini kami simpan sendiri, tidak memberitahu orang-orang karena tidak ingin merasa terbebani dengan harapan orang-orang.

Saat-saat kami sedang berusaha inilah dimana pertanyaan dan komentar orang-orang mulai membuat gerah dan terasa tidak pada tempatnya. Karena entah kenapa, sepertinya mereka merasa saya memang sengaja tidak ingin punya anak dan selalu mengeluarkan komentar yang bersifat menghakimi.

"Jangan kerja terus makanya, kapan mau punya anak?"

"Kenapa sih ditunda-tunda terus punya anaknya? Awas lho kalau nunda-nunda ntar malah nda punya-punya"

"Udah berapa sekarang anaknya? Gue dong udah dua!"

Itu adalah beberapa dari sekian banyak pertanyaan/komentar yang sering membuat saya geram, karena dilontarkan oleh orang-orang yang jarang bertemu saya. Tau apa ya mereka tentang apa yang sedang saya jalani? Apa yang sedang saya usahakan? Kenapa langsung berasumsi kalau saya tidak mau punya anak dan jadi malah seperti mendoakan saya lama punya anak? Dan sejak kapan anak jadi seperti piala, jumlahnya dipamer-pamerkan? Padahal itu saja saya baru yang usaha beberapa bulan, dengan upaya yang mungkin minimal dibandingkan dengan apa yang dilalui orang lain. Kebayang nda sih, kalau komentar itu dikeluarkan ke pasangan yang sudah lama berusaha dengan segala daya dan upaya, apa nda sedih dengernya?

Lagipula, kenapa memangnya kalau pasangan yang sudah menikah tidak/belum mau punya anak? Apakah salah? Apakah berarti semua yang punya anak lebih baik? Semakin banyak jumlah anak menandakan pencapaian di dunia? Kayaknya kok picik sekali ya?

Menurut saya, memutuskan menjadi orang tua adalah pilihan; BUKAN kewajiban. Bertanggung jawab atas hidup manusia lain bukanlah hal yang mudah, dan itu harus dilakukan dengan sepenuh hati, karena KITA yang menginginkannya; bukan karena dorongan orang lain.

Sekarang saya dan suami sedang menantikan anak pertama kami, alhamdulillah sudah masuk ke minggu ke-21. Kehamilan saya sejauh ini cukup lancar, tidak ada morning sickness dan masih bisa beraktivitas normal. Hanya saja selama 3 bulan pertama saya tersiksa karena pilek-batuk yang tidak kunjung reda, yang ternyata karena hormon yang berubah. Tidak bisa minum obat, pusing tak tertahankan, dan sebagainya. Riwayat sakit punggung yang pernah ada pun muncul kembali, dan karena belum boleh pijat, jadi ya saya hanya maksimal bisa mengusap-usap dengan minyak angin. Tapi semua saya jalani dengan ikhlas dan senang, karena ini memang sesuatu yang saya inginkan untuk diri saya sendiri. Kalau saya melakukan ini hanya karena desakan orang lain, sepertinya bisa marah deh mengalami segala "penderitaan" yang terjadi :)

Makanya, tiap ada yang bertanya sama saya mengenai program kehamilan saya, bagaimana bisa berhasil, dsb - dan kemudian menyebutkan alasannya, "Iya nih, gue udah ngga tahan ditanya2in terus kapan punya anak sama orang tua/mertua/saudara/dsb", saya selalu bilang: "Hamil itu nda selalu all that glorious lho, make sure emang loe yang pengen, bukan karena tekanan orang lain - jadi semua konsekuensinya juga dijalani dengan senang."

Itu baru hamilnya, belum nanti pada saat anaknya sudah lahir. Sudah pasti hidup orang tuanya berubah total. Banyak yang harus dipikirkan kalau sudah bertanggung jawab terhadap hidup orang lain. Yang menjalani dan bertanggung jawab terhadap sang anak kan kita, bukan orang tua/mertua/saudara yang ribut mencereweti kita kalau belum punya anak tadi kan?

Memutuskan menjadi orang tua adalah pilihan, bukan kewajiban. Dan buat saya sekarang, menjalani pilihan ini terasa sangat menyenangkan. Mendengar detak jantungnya pada saat USG, melihat gerak-geriknya di monitor, mengetahui pertambahan berat badan/panjangnya, dan yang terakhir ini, merasakan pergerakannya di rahim saya, semua terasa begitu menakjubkan, dan membuat semua pilek/batuk/pusing/sakit punggung jadi tidak terasa lagi.

Tapi lagi-lagi, ini adalah pilihan saya. Tidak semua orang memilih demikian. Jadi, buat yang pertanyaan basa-basinya adalah soal anak, atau yang hobinya "menghakimi" pasangan yang belum memiliki anak, tolonglah, cari pertanyaan lain untuk basa basi. Ini pilihan, bukan kewajiban. Dan yang lebih mendasar lagi, ini bukan urusan anda. MYOB, please!

Posted via email from Popsicle Toes


This page is powered by Blogger. Isn't yours?

Subscribe to Posts [Atom]